Senin, 16 Februari 2015

Hadits tentang Waqaf

BAB I PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Waqaf merupakan salah satu kegiatan ibadah yang dilakukan oleh masyarat. wakaf juga merupakan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakaf untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.
Penerima wakaf hendaklah orang yang sudah dapat melakukan perbuatan hukum, dengan kata lain dewasa, berakal, dan tidak terhalang oleh hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Dalam kehidupan sosial masyarakat belum terlalu faham tentang waqaf, dengan demikian penulis menjelaskan dalam makalah tentang hadis yang berkaitan waqaf agar pembaca mengetahui waqaf dengan benar.

B.            Rumusan Masalah
1.      Apa Hadis Yang Berkaitan Dengan Waqaf?
2.      Apa Makna Global Ari Dari Waqaf?
3.      Apa Arti Perkata Dari Hadis Enang Waqaf?
4.      Apa Asbabul Wurud Dari Hadis Waqaf?
5.      Apa Penjelasan/Faedah Hadits Waqaf?

C.            Tujuan Masalah
1.      Untuk Mengetahui Hadis Yang Berkaitan Dengan Waqaf.
2.      Untuk Mengetahui Makna Global Ari Dari Waqaf.
3.      Untuk Mengetahui Perkata Dari Hadis Enang Waqaf.
4.      Untuk Mengetahui Asbabul Wurud Dari Hadis Waqaf.
5.      Untuk Mengetahui Penjelasan/Faedah Hadits Waqaf.
BAB II PEMBAHASAN
A.           Hadis tentang waqaf
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : أَصَابَ عُمَرُ رًضِي اللهُ عَنْهُ أَرْضًا بِخَيْرَ,فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلام يَسْتَأْ مِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ : يَا رَسُوْ لَ اللهِ, إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ, قَالَ: {إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَ  تَصَدَّ قْتَ بِهَا }. قَالَ : فّتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ : أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلاَ يُورَثُ, وَلاَ يُوهَبُ, فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَ فِي الْقُرْبَى, وَفِرِّقَابِ, وَفِي سَبِ اللهِ, وابْنِ السَّبِيْلِ, والضَّيْفِ, لاَجُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْ كُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ, وَيُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالاً. مُتَّفَقٌق عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمْ. وَفِي رِوَايَةِ لِلْبُخَارِيِّ : تَصَدَّقَ بِأَصْلِهَا: لاَيُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ.

B.            Makna global
Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. Ia berkata: “Umar ra. Mendapatkan jatah sebidang tanah di khaibar kemudian ia menghadap Nabi SAW untuk meminta pendapat beliau. Umar berkata: “ya Rosullah aku mendapatkan jatah tanah di Khaibar dan belum pernah aku mendapatkan harta yang lebih berharga dari pada tanah tersebut”.   Beliau bersabda: “Jika kamu mau, kamu boleh waqafkan tanahnya dan menyedahkan hasilnya”. Ibnu Umar berkata: “Maka Umarpun menyedahkan hasilnyadengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, tidak diwariskan dan tidak pula dihibahkan. Adapun hasilnya ia sedekahkan kepada fakir, miskin, fi sabililah, kepada ibnu sabil dan tamu. Adapun orang yang mengelola tanah tersebut tidak mengapa memakan hasilnya sesuai dengan kebutuhan dan memberi makan kepada teman dengan syarat tidak menyimpannya”[1]. (Muttafaqun ‘Alaihi). lafazhnya  

C.     Arti perkata
Arti
Mufrodat
dan
وَ
diriwayatkan dari Ibnu Umar
عَنِ ابْنُ عُمَرُ
berkata
قَالَ
mendapatkan jatah
أَصَابَ
Umar ra.
عُمَرُ رًضِي اللهُ عَنْهُ
sebidang tanah
أَرْضًا
 di Khaibar
بِخَير
kemudian ia menghadap
فَأَتَى 
Nabi Muhammad SAW
النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلام
untuk meminta
يَسْتَأْ مِرُهُ
pendapat beliau
فِيْهَا
kemudian berkata
فَقَالَ
Wahai
يَا 
Rasullah
رَسُوْ لَ اللهِ
Aku
إِنِّي
mendapatkan jatah
أَصَبْتُ
 tanah
أَرْضًا
 di Khaaibar
بِخَيْر
 belum pernah
لَمْ
aku mendapatkan
أُصِبْ
Harta
مَا
yang lebih bergarga
لاً قَطّ
tanah tersebut
هُوَ
dari pada
أَنْفَسُ
aku mempunyai
عِنْدِي
tanah tersebut
مِنْهُ
 Berkata
قَالَ
Jika
إِنْ
kamu mau
شِئْتَ
kamu boleh
حَبَسْتَ
waqafkan tanahnya
أَصْلَهَا
 dan
وَ
menyedahkan
تَصَدَّ قْتَ
hasilnya
بِهَا
berkata
قَالَ
Maka menyedahkan
فّتَصَدَّقَ
dengan hasilnya
بِهَا
Umar
عُمَرُ
 syarat tanahnya
أَنَّهُ
tidak boleh
لاَ
dijual

يُبَاعُ
 Dan
وَ
tidak
لاَ
Diwariskan
يُورَثُ
Dan
و
tidak pula
لاَ
ia sedekahkan
فَتَصَدَّقَ
Dihibahkan
يُوهَبُ
Hasilnya
بِهَا
Kepada
فِي
fakir miskin
الْفُقَرَاءِ
Dan
وَ
 Tamu
الْقُرْبَى
Riqob
وَفِرِّقَابِ
fi sabililah
وَفِي سَبِ اللهِ
kepada ibnu sabil
وابنِ السَّبِيْلِ
Mengelola
والضَّيْفِ
tidak mengapa
لاَجُنَاحَ
Adapun
عَلَى
orang yang
مَنْ
Memakan
يَأْ كُلَ
Hasilnya
لِيَهَا
tanah tersebut
مِنْهَا
sesuai dengan kebutuhan
بِالْمَعْرُوفِ
dan memberi makan
وَيُطْعِمَ
kepada teman
صَدِيْقًا
Tidak
غَيْرَ
Menyimpannya
مُتَمَوِّلٍ
dengan syarat
مَالاً
Muttafaqun ‘Alaihi
مُتَّفَقٌق عَلَيْهِ


D.           Asbabul wurud
‘Umar bin Al-Khaththab mendapatkan tanah di Khaibar, yang nilainya sebanyak seratus dirham, dan itu merupakan hartanya yang paling banyak dan berharga, apalagi tanahnya subur. Sehingga orang-orang pun berlomba-lomba untuk memilikinya. Kemudian ‘Umar menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena didorong untuk mendapatkan kebajikan. ‘Umar menemui Rasulullah untuk meminta pendapat tentang sifat menyedekahkan tanah itu, karena ia percaya terhadap kesempurnaan nasehat Beliau.
Maka Rasulullah memeberi isyarat jalan yang paling baik untuk mengelola dan menafkahkan kekayaan tersebut dengan cara sedekah, yaitu dengan cara menahan tanahnya dan mewakafkannya, sehingga tanah itu tidak boleh dijual, dihadiahkan, diwariskan atau lainnnya dan berbagai macam peniagaan, yang karenanya akan terjadi pemindahan hak milik atau menjadi sebab pengalihannya, melainkan menafkahkannya kepada fakir miskin, kerabat dalam hubungan darah, untuk memerdekakan hamba, atau membayarkan denda bagi orang yang menanggung beban kifarat, membantu orang-orang yang berjuang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat-Nya dan menolong agama-Nya, memberi makan kepada orang-orang asing (bukan berasal dari negeri yang bersangkutan) yang menempuh perjalanan dan tekah kehabisan biaya, atau memberi makan kepada para tamunya sebab menghormati tamu termasuk cabang iman kepada Allah juga. Begitu pula orang-orang yang mengurus tanah tersebut juga diperbolehkan mengambil untuk keperluan makan dirinya dan temannya sebatas keperluan tanpa bermaksud untuk menumpuk-numpuk harta.

E.       Penjelasan/Faedah Hadits
1.             Faedah hidist tentang wakaf yaitu:
a.               Makna wakaf diambil dari sabda Rasulullah SAW, “Jika engkau menghendaki. Maka engkau dapat menahan tanahnya dan engkau dapat menyedekahkan hasilnya”. Yang artinya menahan asal harta dan menyalurkan manfaatnya.
b.              Dari perkataan, “Tanahnya tidak dijual dan tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan”. Dapat diambil hukum pemanfaatan wakaf, bahwa kepemilikannya tidak boleh dialihkan dan juga tidak boleh diurus yang menjadi sebab pengalihan kepemilikan, tapi ia harus dijaga seperti apa adanya, dapat diolah menurut syarat yang ditetapkan orang yang mewakafkan, selagu tidak ada penyimpangan dan kezaliman.
c.               Kedudukan wakaf  ialah suatu barang yang tetap ada setelah dimanfaatkan. Adapun untuk sesuatu yang sirna tseelah diambil manfaatnya, maka itu merupakan sedekah, tidak termasuk dalam wakaf dan hukumnya.
d.              Dari perkataan, “Maka Umar menyedekahkan hasilnya untuk orang fakir..”. dapat diambil kesimpulan tentang penyaluran wakaf menurut syariat, yaitu untuk berbagai kebajikan yang bersifat umum dan khusus, seperti untuk diberikan kepada kerabat, memerdekakan budak, jihad fi sabillillah, menjamu tamu, untuk orang-orang fakir dan miskin, membangun sekolah, tempat penampungan, rumah sakit dan selainnya.
e.               Dari perkataan, “Dan tidak ada salahnya bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya secara ma’ruf”. Dapat disimpulkan syarat sah yang ditetapkan orang yang mewakafkan, slagi tidak menafikkan keharusan wakaf dan tujuannya, yang didalamnya tidak ada dosa dan kezhaliman. Syarat semacam ini tidak ada salahnya, karena orang yang mewakafkan mempunyai hak mengambil manfaat dalam harta yang diwakafkan, tanpa berbuat zhalim terhadap seseorang. Jika ada syarat-syarat semacam itu, maka syarat-syarat itu dilaksanakan. Sekiranya tidak dilaksanakan, maka syarat yang ditetapkan ‘Umar juga tidak ada faedahnya.
f.               Didalam perkataan tersebut juga terkandung pembolehn bagi pengelola wakaf untuk memakan dari harta wakaf dengan cara yang ma’ruf dan menurut kepatutan, yaitu mengambil menurut kebutuhannya, tidak bermaksud mengambil harta darinya, dan juga dapat menjamu teman dengannya dengan cara ma’ruf.
g.              Disini terkandung fadhilah wakaf, yang termasuk sedekah yang manfaatnya terus berkelanjutan dan kebaikannya tidak pernah berhenti.
h.              Yang paling utama ialah mewakafkan harta yang paling baik dan paling berharga, sebagai sebagai cerminan dari kebajikan disisi Allah.
i. Disini terkandung musyawarah dengan orang yang memiliki keutamaan, yaitu para ulama yang aktif beramal dan yang memiliki pengetahuan untuk disampaikan.
j. Terkandung pengertian bahwa yang dilakukan orang yang dimintai pendapat ialah memberi nasehat, yang menurutnya paling utama dan terbaik, karena agama merupakan nasehat.
k.              Terkandung kebajikan kepada kaum kerabat, karena memberikan sedekah kepada mereka mendatangkan pahala sedekah dan silahturahim.
l. Dari hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa syarat wakaf harus sah berdasarkan ketentuan syariat, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syariat, seperti berbuat baik, adil, menjauhkan kezhaliman dan penyimpangan.

2.                  Penjelasan Waqaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-man’u (mencegah).[2] Wakaf atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan wakaf secara gramatikal berarti “menahan”. Sedangkan menurut istilah syara’ perkataan wakaf berarti “menahan harta dan memberikan manfaatnya pada jalan Allah SWT.
Syafi’iyah  mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakaf untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.[3]
Adapun yang menyangkut rukun wakaf dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.               Yang berwakaf
syarat pokok orang yang berwakaf adalah:
1)                        Berhak berbuat kebaikan
2)                        Atas kehendak sendiri
Berarti orang yang berwakaf haruslah orang yang berhak untuk melakukan sesuatu perbuatan, dengan kata lain orang yang cakap bertindak menurut hukum, yaitu orang yang dewasa dan sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum (misalnya orang gila).
H. Sulaiman Rasyid menafsirkan “berhak berbuat kebaikan” tersebut, juga dapat dilakukan oleh orang di luar Islam, dengan demikian orang di luar agama Islam pun (non Islam) juga dapat memberikan wakaf.
Sedangkan yang dimaksud dengan “kehendak sendiri”, bahwa seseorang tidak dapat dipaksa agar dia mewakafkan harta miliknya. Dengan demikian orang yang dipaksa untuk melakukan wakaf adlah tidak sah, karena tidak memenuhi syarat.

b.              Ada obyek yang diwakafkan
Obyek atau benda yang diwakafkan tersebut mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu, atau dengan kata lain tidak semua benda dapat diwakafkan. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1)   Kekal zatnya; maksudnya barang yang diwakafkan tersebut tidak habis sekali pakai, kalaupun benda tersebut diambil manfaatnya, benda tersebut tidak mengalami kerusakan.
2)   Benda yang diwakafkan merupakan milik atau kepunyaan orang yang mewakafkan.

c.               Penerima wakaf
Penerima wakaf hendaklah orang yang sudah dapat melakukan perbuatan hukum, dengan kata lain dewasa, berakal, dan tidak terhalang oleh hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
d.              Lafaz
Adapun yang dimaksud dengan lafaz adalah ucapan dari orang yang berwakaf bahwa dia mewakafkan untuk kepentingan tertentu. Misalnya; saya   mewakafkan tanah ini untuk kepentingan Mesjid. Apabila sudah dilafazkan seperti itu maka tanah tersebut hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan pembangunan Mesjid, atau dengn kata lain peruntukannya tidak dapatdialihkan lagi.[4]



DAFTAR PUSTAKA

Andri Soemitra. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.Jakarta: Kencana.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis. 2004. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Hendi Suhendi. 2011. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali.



[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram,
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali, 2011) Hal. 239.
[3] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010). Hal. 434.
[4] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika.2004) Hal.107-110.

2 komentar:

  1. Gomawo oppa, terimakasih sangat membantu buwat presentasi nanti, gamsahamnida..........

    BalasHapus