Selasa, 17 Februari 2015

Hadits tentang Hibah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang diridhoi Allah SWT dan sebagai rahmad bagi seluruh alam semesta melalui Nabi Muhammad SAW. semasa hidupnya beliau selalu melakukan amal baik seperti hibah. Hibah adalah pemberian pemberian yang dasarnya kerelaan memberikan sesuatu kepada orang lain.
Meskipun hibah merupakan kemauan sendiri dari si pemberi, tetapi islam melarang untuk mengambil kembali hibah karena dapat menyakiti hati si penerima hibah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan menguraikan hal tersebut dengan dengan hadis tentang larangan menarik kembali hibah.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah yang ada adalah “Bagaimanakah hukum menarik kembali hibah?”

C.     Tujuan
Untuk mengetahui hukum menarik kembali hibah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadis Tentang Hibah

عَنْ عُمَرَرَضِيَ ا للهُ عَنْهُ قَا لَ: حَمَلْتُ عَلَى فَرَسٍ فِى سَبِيْلِ اللهِ, فَأَ ضَا عَهُ الَّذِي كَانَ عِنْدَهُ, فَآَرَدْتُ آَنْ آَشْتَرِيَهُ, فَظَنَنْتُ آَنَّهُ يَبِيْعُهُ بِرُخْصٍ, فَسَآَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِوَسَلّمَ فَقَالَ: لاَ تَشْتَرِهِ وَلاَ تَعُدْ فِى صَدَقَتِكَ وَآِنْ آَعْطَا كَهُ بِدِرْهُمْ فَإِ نَّ الْعَائِدَ فِي هِبَتِهِ كَا الْعَا ئِدِ فِي قَيْئِهِ

B.     Terjemah Secara Global
Dari Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, ‘Aku pernah memberikan seekor kuda untuk digunakan di jalan Allah, namun orang yang kuberi kuda itu menelantarkannya. Maka aku hendak membelinya dan aku menduga dia akan menjual kuda itu dengan harga yang murah. Maka aku bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka beliau menjawab, ‘Janganlah engkau membelinya dan jangan engkau tarik kembali sedekahmu, meskipun dia menyerahkannya dengan harga satu dirham, karena orang yang menarik kembali hibahnya seperti orang yang menjilat kembali muntahannya’.[1]

C.     Arti Per Kata
Dari                                              :           عَنْ
Umar r.a                                       :           عُمَرَرَضِيَ ا للهُ عَنْهُ
Berkata                                         :          قَا لَ
Aku pernah memberikan              :          حَمَلْتُ
Untuk digunakan                                     :           عَلَى
Kuda                                            :          فَرَسٍ
Di jalan Allah                               :           فِى سَبِيْلِ اللهِ
Menelantarkannya                        :           فَأَ ضَا عَهُ
Orang yang                                  :          الَّذِي
Itu                                                            :          كَانَ
Kuberi                                          :           عِنْدَهُ
Hendak                                        :           فَآَرَدْتُ
Saya membeli                               :          آَنْ آَشْتَرِيَهُ
Aku menduga                              :           فَظَنَنْتُ
Dia akan menjual                         :          آَنَّهُ يَبِيْعُهُ
Dengan harga murah                    :          بِرُخْصٍ
Maka aku bertanya                       :          فَسَآَلْتُ
Nabi SAW                                   :          النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِوَسَلّمَ
Maka beliau menjawab                :          فَقَالَ
Janganlah                                     :          لاَ
Engkau membelinya                     :          تَشْتَرِهِ
 Dan janganlah                             :          وَلاَ
Tarik                                             :          تَعُدْ
Kembali                                        :          فِى
Sedekahmu                                  :           صَدَقَتِكَ
Meskipun dia menyerahkan         :           وَآِنْ آَعْطَا كَهُ
Satu dirham                                  :          بِدِرْهُمْ
Karena                                          :           فَإِ نَّ
Orang yang menarik                     :          الْعَائِدَ
Kembali                                        :          فِي
Hibahnya                                      :          هِبَتِهِ
Seperti orang yang menjilat         :           كَا الْعَا ئِدِ
Kembali                                        :           فِي
Muntahannya                               :          قَيْئِهِ

D.    Hadis terkait

عَنِ اِبْنِ عُمَرَ وَا بْنِ عَبَّا سٍ عن النبي قَالَ لاَ يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يُعْطِيَ عِطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيْها إِلاَ الْوَلِدَ فِيْمَا يُعْطِيْ وَلَدَهُ

“Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Tidak halal bagi seseorang yang telah memberikan sesuatu pemberian kemudian menariknya kembali, kecuali orang tua yang menarik kembali hibah yang sudah memberikannya.”

عَنْ اِبْنِ عَبَّا سٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَ نَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الْعَا ئِدُ فِي هِبَتِهِ كَا لْعَائِدِفِي قَيْئِهِ

“Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Orang yang menarik kembali hibahnya seperti orang yang menjilat kembali muntahannya.’[2]

وَعَنْ عَائشة  رضي الله عنها قالت : كَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِبُ عَلَيْهَا. رواه الْبُخاريُّ

Dan diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah Saw. selalu menerima hadiah dan membalasnya.” (HR. Al-Bukhari)[3]

E.     Makna Hadis
Umar bin Khattab membantu seseorang dalam jihad di jalan Allah, dengan memberinya seekor kuda, agar dia menggunakannya dalam peperangan. Namun ornag itu mrngabaikan dan tidak mau mengurus kuda itu atau dia tidak pandai mengurusnya, sehingga kuda itu menjadi lemah. Lalu Umar hendak membelinya dan dia sadar bahwa harga kuda itu tentu menjadi murah karena kondisinya yang lemah. Tapi dia tidak berani langsung membelinya sebelum meminta pendapat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang keinginannya itu, karena dia merasa ada yang mengganjal dalam hatinya, sebab dia termasuk orang yang mendapat ilham.
Maka Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya untuk membelinya walaupun dengan harga paling sedikit, karena yang demikian itu keluar dari tujuan untuk Allah. Janganlah engkau menuruti keinginan hatimu dan janganlah memikirkannya, dan agar orang yang diberi hibah tidak memberikan penawaran harga kepadamu, sehingga engkau menarik kembali sebagian sedekahmu. Di samping itu, barang itu sudah lepas dari dirimu maka barang yang sudah diberikan itu tidak boleh kembali lagi kepadamu. Karena itulah beliau menyebut pemberiannya sama seperti manarik kembali sedekahnya.
Kemudian beliau memberikan contoh agar tidak menarik kembali sedekah yang sudah dikeluarkan, dengan suatu gambaran yang sangat menjijikkan, yaitu seperti anjing yang muntah, lalu dia menjilat kembali muntahannya itu. Hal ini untuk menunjukkan keburukan keadaan dan kehinaannya.

F.      Hikmah Hadis
Konsekuensi logis dari hibah adalah berpindahnya hak dari pemberi kepada penerima hibah. Pada saat objek hibah telah berpindah kepemilikan, sebenarnya pemilik pertama tidak lagi mempunyai hak terhadap benda tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat diminta kembali, karena dapat menimbulkan rasa sakit atau kecdewa dari orang yang diberi hibah.[4]
Hadis tersebut dinyatakan bahwa tidak boleh mengambil atau membeli kembali sesuatu yang sudah diberikan kepada orang lain. Selain itu, dinyatakan secara tegas bahwa orang yang menarik kembali hibah yang telah diberikan sama dengan sama dengan orang yang manjilat kembali muntahannya. Sesungguhnya muntah itu haram, maka penganalogian sesuatu dengan muntah sama saja haram. Namun ada yang memahami bukan haram, tetapi makruh tahrim hukumnya melakukan tindakan penarikan kembali hibah.
Dilihat dari pemberi hibah, perbuatan menarik kembali hibah yang sudah diberikan kepada orang lain merupakan pertanda tidak konsisten dalam melaksanakan komitmen yang sudah dibuat oleh orang lain, tidak menepati janji dan tidak matang dalam mengambil suatu keputusan. Bahkan ia dapat termasuk dalam kriteria orang yang mengingkari janji, yaitu sebagai salah satu indikator munafik. Hungkin inilah hikmahnya kenapa islam memakruh tahrimkan tindakan tersebut.[5]
Dilihat dari penerima hibah, secara psikologis tindakan penarikan kembali pemberian yang sudah diberikan itu sangat menyakitkan dan mengecewakan si penerima hibah.

G.    Kesimpulan Hadis
1.      Anjuran memberikan pertolongan dalam jihad fisabilillah. Yang demikian itu merupakan sedekah yang paling utama, dan Rasulullah Saw. juga menyebutnya dengan nama sedekah.
2.      Umar bin Khattab menyedekahkan seekor kuda kepada seorang mujahid dan tidak menjadikannya sebagai wakaf bagi dirinya atau sebagai wakaf fi sabilillah untuk jihad. Sekiranya tidak, tentunya orang tersebut tidak boleh menjualnya. Yang dimaksudkan humlun ialah pemberian sesuatu untuk dimiliki dan bukan pemberian untuk dijadikan wakaf.
3.      Larangan membeli kembali sedekah karena ia dikeluarkan bagi Allah, sehingga tidak selayaknya jika tetap dipikirkan. Membelinya kembali merupakan bukti bahwa hati orang yang bersedekah masih memikirkannya. Penjual juga tidak boleh menawarkan kepada orang yang bersedekah, agar sedekah itu tidak kembali lagi kepada dirinya.
4.      Diharamkan menarik kembali sedekah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
5.      Menghindari perbuatan tersebut, ynag diumpamakan dengan suatu gambaran yang hina dan menjijikkan.
6.      Jumhur ulama mengecualikan pengharaman kembali bagi hibahnya orang tua terhadap anak karena orang tua dapat menarik hibahnya, sebagai pengamalan terhadap riwayat Ahmad dan Ashhabus-Sunan, dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk memberikan suatu pemberian kemudian dia menari kembali pemberian itu kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.” Dishahihkan At-Tirmidzi dan Al-Hakim.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hadis tersebut dinyatakan bahwa tidak boleh mengambil atau membeli kembali sesuatu yang sudah diberikan kepada orang lain. Selain itu, dinyatakan secara tegas bahwa orang yang menarik kembali hibah yang telah diberikan sama dengan sama dengan orang yang manjilat kembali muntahannya. Sesungguhnya muntah itu haram, maka penganalogian sesuatu dengan muntah sama saja haram. Namun ada yang memahami bukan haram, tetapi makruh tahrim hukumnya melakukan tindakan penarikan kembali hibah.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam. 2002. Syarah Hadis Pilihan Bukhari Muslim. Bekasi: PT Darul Falah
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.2009. Terjemah Bulughul Maram. Solo: At-Tibyan.
Enizar. 2013. Hadis Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada




[1] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam,  Syarah Hadist Pilihan Bukhari-Muslim, (Bekasi: DARUL FALAH, 2011), h. 811
[2] Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam,  Syarah Hadist Pilihan Bukhari-Muslim, (Bekasi: DARUL FALAH, 2011), h. 812
[3] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, terjemah Bulughul Maram, (Solo:At-Tibyan, 2009), h. 430
[4] Enizar, Hadis Ekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 56
[5] Enizar, Hadis Ekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 56

Hadits tentang Pembayaran Hutang

PENDAHULUAN


a.      Latar belakang
Manusia adalah mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Karena itu seseorang pasti membutuhkan seseorang lain dalam hidupnya. Begitupula dalam kahidupan sehari-hari kita pasti membutuhkan teman kita, tetangga kita, dan yang lainnya. Seringkali jika kita mengalami kesulitan khususnya dalam hal finansial maka kita pasti akan meminjam kepada orang lain atau tetangga kita. Tetapi manusia memang tidak luput dari kesalahannya, seringkali kita lupa membayar hutang dan ada juga orang yang memang sengaja menunda-nunda pembayaran hutang.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang hadis-hadis menunda pembayaran hutang. Bagaimana hukum orang yang menunda-nunda pembayaran hutang?
b.      Rumusan masalah

1.      Apa hadis yang menerangkan tentang orang yang menunda pembayaran hutang?
2.      Bagaimana terjemahan secara global tentang hadis tersebut?
3.      Apa makna yang terkandung dalam hadis tersebut?
4.      Bagaimana latar belakang diturunkannya hadis tersebut?

c.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui tentang hadis menunda-nunda pembayaran hutang
2.      Untuk memahami makna secara global hadis menunda-nunda pembayaran hutang
3.      Untuk mengkai lebih dalam mengenai makna hadis menunda-nunda pembayaran hutang
4.      Untuk mengetahui hal-hal apa yang melatarbelakangi diturunkannya hadis menunda-nunda pembayaran hutang






























BAB II
PEMBAHASAN

A.    HADIST
·         Hadist menunda pembayaran hutang

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Artinya : "Mengulur-ulur waktu pembayaran hutang bagi yang mampu adalah kezhaliman." (Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim,)


B.     TERJEMAHAN SECARA GLOBAL
Hukum menunda pembayaran hutang adalah haram termasuk dosa besar, jika orang yang berhutang tersebut telah mampu membayar hutang dan tidak memiliki udzur yang dibenarkan oleh agama setelah orang yang memberikan hutang memintanya atau setelah jatuh tempo.
Orang yang menunda-nunda pembayaran hutang berhak dighibah dan dimasukkan kedalam penjara. Karena menunda-nunda pembayaran hutang adalah termasuk kezaliman. Yang dimaksud dengan kezaliman tersebut karena orang tersebut telah mampu membayar hutang tetapi malah menyengaja untuk mengulur-ngulur pembayarannya.
Penundaan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang yang mampu termasuk dosa besar dan pelakunya menjadi fasiq karenanya. Ada perbedaan pendapat tentang kefasiqan ini, apakah fasiq itu jatuh sebelum penagihan hutang atau menjadi fasiq dengan sendirinya karena penundaan itu. Hal ini disebabkan penafsiran yang timbul dari hadist ini bahwa orang yang menghutangi harus menagih terlebih dahulu, karena sesungguhnya penundaan pembayaran hutang tidak akan terjadi kecuali bersama penagihan itu. Jika si penghutang sengaja menunda pembayaran setelah jatuh tempo, maka ia menjadi fasiq sebelum penagihan hutang itu, dan apabila si penghutang sengaja menunda pembayaran hutang setelah orang yang berpiutang menagih, maka ia menjadi fasiq pada saat penagihan, dan apabila si penghutang memang benar-benar sengaja berniat dari awal akan menunda pembayaran hutang, maka ia akan menjadi fasiq dengan sendirinya.

Berbeda halnya dengan orang yang tidak mampu membayar hutang, maka orang yang berpiutang tidak boleh memaksa orang yang berhutang untuk segera melunasi hutang-hutangnya. jika hal ini terjadi, orang yang berpiutang termasuk mendzolimi, lebih-lebih jika orang yang berpiutang membebankan bunga kepada orang yang berhutang karena pada saat jatuh tempo tidak terbayar dan hal ini termasuk riba. Seharusnya orang yang berpiutang memberikan kelonggaran kepada orang yang berhutang bila jatuh tempo belum terbayar. 



C.    TERJEMAH PERKATA

o   مَطْلُ : mengulur ngulur waktu

o   الْغَنِيِّ : bagi yang mampu

o   ظُلْمٌ : kezhaliaman




D.    ASBABUL WURUD

Kata jabir : “seorang laki laki telah meninggal dunia. Kemudian kami mandikan, kami kafani, dan kami bawa kepada rosulullah untuk disholatkan. Rosulullah melangkah selangkah seraya berkata : “apakah ia mempunyai hutang ?”. jawabku : “dua dinar”. Maka pergilah rosulullah. Kemudian abu katadah melunasi hutangnya. Rosulullah pun menyalatkannya. Esok harinya rosulullah bertanya : “apakah telah kau terima yang dua dinar itu ? sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya”.
Setelah futuh makkah rosulullah menekankan bahwa hutang para sahabatnya yang telah meninggal dunia menjadi kewajiban ahli warisnya melunasinya. Jika ahli warisnya tidak ada yang mampu, beliau sendiri yang menjaminnya. Beliau menutup hutang kaum muslimin yang meninggal saat itu lebih dahulu sebelum beliau menshalatkannya.


E.     MAKNA HADIS

Barangsiapa mampu membayar hutang maka diharamkan baginya menunda-nunda hutang yang wajib dia lunasi jika sudah jatuh tempo. Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hutang, maka hendaklah dia segera membayar hak orang-orang yang wajib dia tunaikan. Dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, sebelum maut menjemputnya dengan tiba-tiba, sementara dia masih tergantung pada hutangnya. Sebab yang namanya hutang adalah kewajiban yang harus disegerakan, mengalahkan dari berbagai kewajiban yang lain.
1.      Zakat
Kewajiban zakat yang merupakan rukun islam pun harus dikalahkan manakala seseorang hanya punya satu diantara dua pilihan, yaitu bayar zakat atau bayar hutang. Pilihannya secara syar’i adalah membayar hutang dulu kalau masih ada lebihnya baru bayar zakat.
2.      Pembagian waris
Dalam urusan pembagian harta waris pun berlaku hukum yang sama. Sebelum harta almarhum dibagi waris, maka yang harus ditunaikan terlebih dahulu adalah pembayaran atas hutang-hutang almarhum selama hidupnya. Tidak ada istilah pembagian waris, kalau hutang-hutang almarhum belum terbayarkan.
3.      Jihad
Bahkan dalam urusan jihad fii sabilillah, urusan hutangpun harus dikedepankan. Maka dari itu, para komandan jihad mensyaratkan bahwa hanya mereka yang sudah tidak punya hutang saja yang boleh maju ke medan pertempuran. Sebab mati syahid itu memang mulia, tetapi kalau masih mempunyai hutang tetap saja kemuliaan itu akan tercederai.
Walhasil hutang adalah suatu kewajiban yang harus kita selesaikan terlebih dahulu sebelum kita bicara masalah-masalah yang lain.
Menunda pembayaran hutang bukan hanya kezaliman dan dosa, tetapi sering kali bisa melahirkan dosa yang lain, yang merupakan dosa ikutan. Satu hal yang perlu diperhatikan karena seringkali orang menggampangkan yaitu urusan terlambatnya bayar hutang. Jangan dikira ketika kita terlambat membayar hutang, berarti kita aman dan tidak terkena dosa. Apalagi kalau sifatnya sengaja, padahal sebenarnya kita mampu melunasi hutang tepat waktu, maka sengaja menunda pembayaran hutang adalah sebuah kezaliman.
Hukum menunda pembayaran hutang tidak haram apabila orang yang berhutang memang benar-benar belum mampu membayarnya atau ia telah mampu membayarnya namun masih berhalangan untuk membayarnya semisal uang yang ia miliki belum berada ditangannya atau alasan-alasan lain yang dibenarkan agama.
Jika kita belum mampu membayarnya maka kita harus berterus terang dengan sebenarnya:
-Memberi kabar kepada orang yang memberi hutang jika belum mampu membayar.
- Harus berusaha keras mencari jalan keluar untuk segera melunasi utangnya.
- Mendo’akan kebaikan untuk orang yang telah meminjamkan sesuatu kepada kita
dan berterima kasih kepadanya.

·         Hadis terkait
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :

لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه

Artinya: "Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan
(juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau
telah menunda pembayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya”


ADAB-ADAB ORANG YANG BERUTANG
- Harus meluruskan niat dan tujuannya dalam berutang.
- Tidak berutang kecuali dalam kondisi darurat.
- Wajib berniat melunasi utangnya.
Dari Shuhaib bin al-Khair Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallambeliau bersabda :

أَيُّمَـا رَجُلٍ تَدَيَّنَ دَيْنًا وَهُوَ مُـجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللّٰـهَ سَارِقًا


Artinya: “Siapa saja yang berutang, sedang ia berniat tidak melunasi utangnya maka ia akan bertemu Allâh sebagai seorang pencuri.”

- Berusaha berutang kepada orang yang kaya atau mampu dan baik.
- Utang hanya sesuai kebutuhan.
- Wajib memenuhi janji dan berkata jujur, serta berlaku baik kepada orang yang
meminjamkan uang atau barang kepada kita.
Apabila  kita mampu untuk segera melunasinya, maka bergegaslah melunasinya,  dan wajib dibayar jika hutang tersebut telah jatuh tempo
Jika tidak maka anda akan berdosa
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  : “مَطْل الغنيِّ ظلم. وإذا أُتْبع أحدكم على مَلِئٍ فليَتْبع” متفق عليه.
Dari abi hurairoh rodhiallhu ‘anhu berkata: Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
 “Menunda pembayaran hutang  dalam kondisi mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan (hutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya” [Al-Bukhari III/55, 85 Muslim III/1197 nomor 1564,]
Ingatlah wahai saudaraku. Hutang itu akan menjadi beban kita diakhirat jika tidak dibayar,  dan (hisabnya) hitungannya antara anda dan orang yang anda hutang uangnya tersebut..
Ingatlah jika salah seorang diantara kita meninggal dunia dalam kondisi berhutang, bisa jadi hutang tersebut disepelekan oleh pewaris kita, dan natinya ia akan menjadi beban dihari akhirat.
Ketahuilah wahai saudaraku,  jika engkau meremehkan hutangmu maka ia merupkan kehinaan disiang hari dan pikiran dimalam hari, kemudian beban di akhirat nanti
Maka jangan gampang berhutang..


F.     FAIDAH/SIMPULAN HADIS

Membayar hutang adalah suatu kewajiban yang harus kita penuhi. Haram hukumnya jika kita menunda-nunda pembayaran hutang padahal kita mampu untuk membayarnya. Membayar hutang sangat penting, bahkan orang yang belum membayar hutangpun tidak diperbolehkan membayar zakat, melainkan harus membayar hutang dahulu, baru setelah hutang-hutangnya telah terbayar dan jika orang tersebut masih mempunyai lebihan sisa maka baru dikenakan membayar zakat. Begitupula dengan pembagian harta warisan. Jika almarhum yang mewariskan hartanya kepada ahli waris mempunyai hutang maka wajib hukumnya melunasi semua hutang-hutang almarhum selama hidup didunia, lalu kemudian harta waris tersebut boleh dibagikan sesuai hukum waris. Dan juga seorang yang berjuang dijalan allah (fii sabilillah) pun harus melunasi hutangnya tersebut sebelum maju ke medan perang. Maka dari itu membayar hutang adalah suatu kewajiban mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh muslim yang dikenakan membayar hutang.
Hukum menunda pembayaran hutang tidak haram apabila orang yang berhutang memang benar-benar belum mampu membayarnya atau ia telah mampu membayarnya namun masih berhalangan untuk membayarnya semisal uang yang ia miliki belum berada ditangannya atau alasan-alasan lain yang dibenarkan agama.





















DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Hamzah, Asbabul Wurud,